Hobi dan Bisnis

Hobi dan Bisnis, kedua hal ini bisa dikatakan berkaitan bagi sebagian orang. Namun bagi sebagian lainnya kedua hal ini terpisah jauh. Ya, ada orang yang menganggap bisnis adalah pekerjaan wajib yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, disamping itu ada pula orang yang menjalankan sebuah bisnis karena tak mau melakukan hobinya tanpa hasil yang berarti. "Sayang donk gak dijadiin ladang bisnis, itung-itung seneng-seneng berhadiah penghasilan." kata sebagian yang lain.


Kamu aliran yang mana?
Itu tergantung sudut pandang dan jiwa bisnis kamu sih, hehe. Cerita sedikit nih, boleh donk ya...

Orang tua kami berpuluh tahun membiayai hidup keluarga dengan cara dagang. Sejak kecil kami melihat ayah dan ibu berdagang. Cerita bisnis mereka juga jatuh bangun, berputar-putar haluan, silih berganti tema dagang sesuai kondisi.

Waktu aku TK, orang tua pertama sekali menekuni dunia bisnis. Saat itu kami tinggal di sebuah desa kecil di pedalaman. Desa ini menjadi penghubung desa-desa lebih terpencil di hutan sana dengan kota besar. Alat transportasi yang menghubungkan antar desa adalah perahu yang bentuk dan ukurannya berbagai macam.

Ayah dan ibu kami dulunya-sebelum kami lahir, tinggal di pedalaman sekali, bekerja di kebun kelapa dan menjual hasil panen ke pengepul atau tauke kelapa. Tapi lama-kelamaan karena ketekunan, ahirnya mereka beranjak menjadi pengepul kelapa dan meninggalkan kampung halaman nun jauh di perkebunan.

Diantara ayah dan ibu, ibulah yang jiwa bisnisnya besar. Saat ayah sibuk mengurus bisnis kelapa untuk dijual ke pabrik di pinggiran kota, ibu sibuk membuka warung di depan rumah. Waktu itu aku belum mengerti mengapa ibu sangat suka berjualan. Tertawa di warung dengan teman-temannya, sesekali membahas apa yang mereka masak, silih berganti pembeli datang berganti topik pembahasan, bahkan tak jarang ibu membagikan sayuran gratis. Sekarang aku baru faham bahwa berbisnis itu bukan hanya sekedar menjual dan mendapatkan laba.

Tahun-tahun berganti, ayah dan ibu bangkrut.
Karena tak ada harta apapun yang tersisa selain kebun kelapa yang tak menghasilkan, saat itu harga penjualan kelapa menurun drastis, mengurus kebun hanya akan membuang tenaga. Ahirnya ayah dan ibu memberanikan diri pindah ke kota, bukan kota besar, tepatnya masih pinggiran kota, disebuah desa yang dekat dengan perairan menuju laut.

Awalnya ayah bekerja apa aja, menjadi nelayan, kuli angkut barang ke kapal, hingga kuli bangunan. Namun dengan jiwa pebisnis yang dimiliki ibu yang saat itu menjadi tukang cuci, pelan-pelan tabungannya cukup membuka warung jajanan anak-anak. Malam harinya ibu masih sempat menyiapkan dagangan cemilan untuk diantar ke warung yang lebih besar.

Tahun berganti ahirnya ayah sanggup membangun rumah sendiri walau hanya terbuat dari papan dan lantainya semen tanpa batu. Di rumah baru, ibu kembali menabung namun dapat membuka warung beberapa tahun kemudian.

Warung baru ini ramai hingga menjadi warung besar dengan bahan sembako terlengkap. Namun entah apa yang terjadi, setelah hampir sepuluh tahun warung ini juga bangkrut, ibu sakit-sakitan dan ayah berhenti bekerja karena ada PHK besar-besaran. Kembali lah keluarga kami ke titik paling sulit. Cukup lama keluarga dalam masa sulit sih, ahirnya beberapa tahun kemudian, aku sanggup memberikan modal pada orang tua untuk kembali membangun dari awal.

Hari itu aku ingat sekali, uang satu juta yang aku letakkan di tangan ibu dipakai untuk membayar hutang kebutuhan makan dan lain-lain, sisanya hanya dua ratus ribu. Seratus ribu disimpan untuk keperluan dapur, dan seratus ribu lagi dijadikan modal. sebuah meja diambil dari rumah, dagangan baru dengan modal minim itu hanya diletakkan di atas meja, namun siapa sangka setahun kemudian meja itu berubah menjadi warung besar dengan sembako terlengkap seperti dahulu. Keuntungan bersih perharinya satu juta rupiah.

Waktu terus berputar, penghasilan turun naik hingga ahirnya orang tua menjadi lemah karena sudah tua. Aku membawa mereka pindak ke kota besar, yap tinggal di perumahan. Aku pikir dengan tinggal di perumahan yang sunyi dari hingar bingar akan membuat orang tua tenang. Namun aku salah. Hanya enam bulan saja, ibu mengeluh bilang pengen jualan lagi.

Ahirnya aku putuskan pindah dan menyewa rumah yang ada rukonya. Karena orang tua sudah lemah aku tak izinkan mereka berdagang yang berat-berat. Hmmm... mereka jual apa? ada yang nebak?

Hehe... mereka berjualan es krim, bertepatan rumah yang kami sewa letaknya di depan sekolah. Memang aku tak membiarkan ruko kosong melompong, aku melanjutkan bisnis pakaian online yang sudah kutekuni sejak kuliah. Pakaian tergantung dengan bandrol harga agar jika aku tidak di rumah mereka masih bisa menjualnya, steling terisi aksesoris dan herbal. Next aku cerita kenapa bisa jualan herbal juga hihi. Karena aku hobi memasak dan sudah setahun membuka bisnis kuliner, didepan juga ada warung jajanan kuliner.

Apakah bisnis kami karena hobi?
Yup, ada masanya dilakukan karena memang senang melakukannya tapi terkadang tanpa dipungkiri kita juga butuh untuk menambah penghasilan.

Komentar